Followers

RSS

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Polemik Obat Puyeran

Obat yang tidak rasional masih marak di Indonesia, dan masalah ini menjadi tanggung jawab banyak pihak, dari pembuat kebijakan, asosiasi profesi tenaga kesehatan, industri farmasi, dokter, apoteker, hingga media massa dan pasien. Kerja sama dan dukungan semua pihak mutlak diperlukan untuk memperbaiki kualitas pola pengobatan menjadi rasional sebagaimana dianjurkan Badan Kesehatan Dunia WHO.
Menurut WHO, pengobatan yang rasional adalah pemberian obat yang sesuai kebutuhan pasien, dalam dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu, serta dengan biaya serendah mungkin baik bagi pasien maupun komunitasnya. Pola pengobatan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah di atas adalah pola pengobatan tidak rasional.

Topik yang dibahas meliputi praktik peresepan yang baik, konsep pengobatan rasional, puyer dari perspektif farmasi, serta praktik pengobatan di negara lain. Pemaparan para ahli ini dilengkapi testimoni pekerja dan konsumen kesehatan mengenai pengalaman pengobatan dalam praktik sehari-hari.
Contoh pola pengobatan tidak rasional adalah pemberian beberapa obat sekaligus pada saat bersamaan dalam kondisi yang tidak perlu (polifarmasi), pemberian antibiotika yang berlebihan, serta tingginya tingkat pemakaian obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Salah satu contoh polifarmasi adalah pemberian puyer atau racikan (compounding) yang berisi beberapa obat sekaligus untuk anak-anak dengan gangguan kesehatan ringan harian seperti demam, batuk-pilek atau diare.

Polifarmasi beresiko memicu interaksi obat. Suatu analisis terhadap sejumlah resep untuk pasien anak-anak yang masuk di suatu apotek di Jakarta Selatan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa 53% diantaranya merupakan pemberian obat secara polifarmasi (lebih dari 4 obat) dan 12% diantaranya memicu timbulnya interaksi obat yang tidak diinginkan (sumber: Media Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan).
Di beberapa negara berkembang, persentase peresepan antibiotika yang sebenarnya tidak perlu diberikan berkisar antara 52% sampai 62%. Data yang terekam dari Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan YOP mencatat sedikitnya 47% antibiotika yang diberikan sebenarnya tidak diperlukan. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat ini akan menimbulkan masalah baru, yaitu resistensi kuman.
Menurut Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudi, Sp.FK dari Farmakologi FK-UI, pemberian resep racikan (puyer) di luar negeri saat ini hanya tinggal 1%. Sementara di Indonesia, resep puyer untuk anak masih sering sekali dijumpai.
Dalam satu hari, apotek di salah satu rumah sakit swasta di Tangerang bisa membuat rata-rata 130 resep puyer.
“Peresepan obat racikan membawa risiko dan berbagai dampak negatif bagi pasien dan petugas farmasi. Kontrol kualitas sangat sulit dilaksanakan dalam pembuatan puyer karena tingginya kemungkinan kesalahan manusia. Selain itu, stabilitas obat tertentu dapat menurun bila bentuk aslinya digerus,
sedangkan toksisitas obat dapat meningkat,” jelas Rianto lebih lanjut.
Profesi kedokteran ditantang untuk mau dan mampu melakukan audit profesi dan audit kerasionalan dalam memberikan resep sehingga dampak negatifnya dapat dihindari, seperti meningkatnya biaya pengobatan yang tidak efisien serta terjadinya efek obat yang tidak diharapkan.
Kurangnya informasi terhadap bukti ilmiah baru tentang obat dan farmakoterapi tampaknya dihadapi kalangan profesional kesehatan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ironisnya, kelemahan ini dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai peluang. Dengan gencar, para dokter dibanjiri
informasi mengenai produk obat mereka. Sayang, informasi ini umumnya tidak seimbang, cenderung dilebih-lebihkan, dan berpihak pada kepentingan komersial.
Pengertian Puyer
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan puyer?
Puyer atau pulvis adalah salah satu bentuk sediaan obat yang biasanya didapat dengan menghaluskan atau menghancurkan sediaan obat tablet atau kaplet yang biasanya terdiri atas sedikitnya dua macam obat.
Alasan dibuatnya puyer adalah:
  1. pasien tidak bisa menelan tablet/pil/kapsul. biasanya pada pasien anak/balita
  2. tidak ada dosis yang sesuai pada sediaan yang ada. misalnya butuh paracetamol 100mg, sementara sediaan yang ada di pasaran 250mg dan 500mg.
  3. polifarmasi : jika pasien anak-anak mendapat obat lebih dari 1 macam
  4. tidak ada sediaan bentuk lain yang sesuai. misalnya bentuk syrup nya tida ada
  5. ekonomis. puyer relatif lebih murah daripada syrup.
Dalam pengobatan modern barat, pada awalnya puyer merupakan salah satu bentuk sediaan yang luas digunakan di seluruh dunia, terutama untuk penggunaan obat racikan/campuran. Namun, dengan kemajuan teknologi, lambat laun sediaan puyer semakin jarang digunakan di seluruh dunia. Selain karena kemajuan teknologi yang menghasilkan berbagai bentuk sediaan obat baru yang lebih aman, mudah digunakan, dan nyaman bagi pasien, sediaan obat puyer dianggap bersifat kurang stabil. Dengan demikian, lebih mudah rusak, takaran kurang akurat, dan penggunaannya juga menimbulkan rasa kurang nyaman (pahit). FDA (Food and Drug Administration) sendiri sudah tidak merekomendasikan penggunaan puyer lengkapnya baca di (http://www.fda.gov/consumer/updates/compounding053107.html)
Penggunaan sediaan obat puyer dan sejenisnya di Indonesia sudah berlangsung lama sejak dahulu kala, jauh sebelum pengobatan modern hadir di sini. Jamu sebagai ramuan obat asli Indonesia sejak ratusan tahun lalu salah satu bentuk sediaannya adalah mirip puyer.
Sediaan obat puyer juga memiliki ”turunan”, yaitu sediaan obat kapsul dan obat sirup yang diracik/dikemas sendiri oleh dokter/apoteker dengan memasukkan puyer ke dalam cangkang kapsul atau mencampurkannya dengan sirup dan air. Biasanya bentuk yg dimasukkan kapsul lebih banyak digunakan pada anak yg besar juga digunakan pada pasien-pasien dewasa. Sebenarnya puyer ini hanya ada di negara berkembang bahkan ada yg bilang hanya ada di Indonesia
Mengingat polemik ini berkembang semakin meluas sehingga meresahkan masyarakat yang terhitung sebagai konsumen, maka sudah seharusnya hal ini menggugah perhatian pihak-pihak yang berwenang.
Pemerintah, tenaga medis, media massa, serta masyarakat sebagai konsumen..
Yang sebenarnya penting untuk ditekankan dalam pemberian obat adalah apakah pemberian obat itu RASIONAL? Baik dari segi pemilihan jenis obat, dosis obat, sediaan (bentuk) obat, adanya interaksi obat dll

Pemerintah sudah saatnya membuat kebijakan atau pengaturan mengenai obat, terutama dalam hal ini bentuk obat. Dalam hal ini termasuk mempertimbangkan, apakah pemerintah sudah SIAP untuk menyediakan obat dalam bentuk lain, selain puyer, misalnya sirup yang beragam dengan harga terjangkau yang disertai alat ukur di seluruh pelayan kesehatan masyarakat?
Bila memang belum siap, maka hal yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah mempertegas lagi dan memantau standar minimal prosedur, tempat, dan peralatan pembuatan sediaan puyer/turunannya di apotek atau praktik dokter sehingga kebersihan dan ketepatan takarannya memenuhi standar. Selain itu, pemerintah juga perlu mengatur ketetapan kewajiban pemberian label pada kemasan sediaan obat puyer/turunannya yang mencantumkan isi dan takaran obat yang terkandung, tanggal kedaluwarsa, cara penyimpanan, beserta nama dan alamat peraciknya.
Tenaga medis, khususnya dokter.
Dokter harus memahami benar jenis-jenis obat yang akan digunakan. Apakah obat dapat diberikan dalam bentuk puyer, apakah akan muncul interaksi obat antara yang satu dengan yang lainnya harus benar-benar dikuasai oleh dokter. Lebih baik lagi bila ikatan profesi dokter bisa menyusun suatu daftar mengenai obat-obat mana saja yang bisa dijadikan puyer, serta memberikan standar-standar minimal yang harus dipenuhi sebelum meresepkan atau meracik puyer.
Tenaga medis lain, misalnya apoteker.
Apoteker juga wajib mengetahui standar-standar minimal peracikan puyer, termasuk prosedur, tempat, dan peralatan yang digunakan.
Media massa sebagai sarana informasi masyarakat, harus dapat berperan secara bertanggung jawab untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman yang benar dan jelas kepada masyarakat supaya tidak menimbulkan keresahan yang semakin bertambah bagi masyarakat.
Masyarakat sebagai konsumen harus dapat bersikap lebih bijaksana, bertindak sebagai pasien yang bijak. Mematuhi seluruh aturan terapi dengan benar.
Di sisi lain, sebenarnya apa yang mendasari kontroversi ini muncul??
Seperti dikatakan ibu menteri kesehatan, standar operasional mana yang dikatakan tidak memperhatikan higienitas? Bukankah selama ini tidak pernah terdengar keluhan bahwa ada bayi atau anak mencret setelah mengkonsumsi puyer?
Tidak adanya komunikasi yang baik antara dokter dan pasien itulah yang justru meresahkan sehingga menyebabkan tidak adanya lagi kepercayaan pasien terhadap dokter. Dokter tidak menceritakan dengan jelas mengenai penyakit serta rencana pengobatan terhadap pasien dan keluarganya, pasien juga takut, malu atau malas bertanya. Hal inilah yang akan banyak menimbulkan kegagalan dalam pengobatan terhadap pasien.
Oleh karena itu, sambil menunggu adanya kebijakan lebih lanjut mengenai kontroversi ini, alangkah baiknya kita memperbaiki hubungan antara dokter dan pasien menjadi lebih baik

peresepan obat puyer membawa risiko untuk pasien dan berbagai dampak negatif lainnya. Di negara maju, praktik ini sudah sangat berkurang karena:
1. Kemungkinan kesalahan manusia dalam pembuatan obat racik puyer ini tidak dapat diabaikan, misalnya kesalahan menimbang obat, atau membagi puyer dalam porsi2 yang tidak sama besar. Kontrol kualitas sulit sekali dapat dilaksanakan untuk membuat obat racikan ini.
2. Stabilitas obat tertentu yang dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, misalnya bentuk tablet salut selaput (film coated), tablet salut selaput (enteric coated), atau obat yang tidak stabil (misalnya asam klavulanat) dan obat yang higroskopis (misalnya preparat yang mengandung enzim pencernaan)
3. Toksisitas obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat bila digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya.
4. Waktu penyediaan obat lebih lama. Rata-rata diperlukan 10 menit untuk membuat satu resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan kapsul, sedangkan untuk mengambil obat yang sudah jadi hanya perlu kurang dari 1 menit. Kelambatan ini berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien terhadap
layanan di apotek.
5. Efektivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender/mortir dan kertas pembungkus. Hal ini terutama terjadi pada obat-obat yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, misalnya puyer yang mengandung klopromazin.
6. Pembuatan obat puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang kronis di bagian farmasi akibat bubuk obat yang beterbangan ke sekitarnya. Hal ini dapat merusak kesehatan petugas setempat.
7. Obat racikan puyer tidak dapat dibuat dengan tingkat higienis yang tinggi sebagaimana halnya obat yang dibuat pabrik karena kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu pembuatannya.
8. Pembuatan obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal karena menggunakan jam kerja tenaga di bagian farmasi sehingga asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum tentu tercapai.
9. Dokter yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat sulit dibuat puyer (difficult-to compound drugs) misalnya preparat enzim.
10. Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.
Untuk rumah sakit yang ingin mencapai standar internasional, khususnya dalam melindungi keselamatan pasien, maka penulisan resep dan pembuatan obat racikan ini perlu dihapus. Kelak diharapkan semua kebutuhan obat untuk anak dapat dipenuhi berdasarkan obat formulasi pabrik.
Peran Organisasi Profesi Kedokteran dan Kebijakan Pemerintah
Ada 3 agenda tindakan untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional.
Pertama, pendekatan edukasi: konsep obat esensial dan aplikasinya serta pendidikan preskripsi yang rasional kepada mahasiswa kedokteran. Selain itu rumah sakit pendidikan punya tanggung jawab etis terhadap masyarakat untuk mempromosikan peresepan yang rasional melalui contoh konkret dari para
staf pengajarnya. Sayangnya, justru rumah sakit pendidikan di Indonesia adalah tempat mengajarkan peresepan yang tidak rasional.
Agenda kedua adalah skim manajerial: melalui siklus pengadaan obat.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang diimplementasikan secara konsisten dan diikuti dengan baik oleh setiap tingkat pelayanan kesehatan sangat penting artinya. Estimasi pengadaan obat harus didasarkan pada morbiditas (angka kesakitan), bukan atas dasar penggunaan sebelumnya.
Agenda ketiga, intervensi regulasi.
Peran Dokter dan Industri Farmasi.
Suatu penelitian skala besar di beberapa negara maju menunjukkan sedikitnya tiga alasan mengapa para dokter cenderung abusive dalam pola peresepannya:
* Kurangnya kepercayaan diri (lack of confidence). Dokter sering kurang percaya diri untuk menyatakan bahwa penyakit pasien disebabkan infeksi virus dan tidak memerlukan antibiotika. Dokter juga khawatir pasien akan pindah ke dokter lain yang justru akan memberikan antibiotika. Saat pasien sembuh ia
akan menganggap antibiotikanya lah yang menyembuhkan. Padahal, setiap penyakit memiliki pola perjalanan penyakit. Saat berobat ke dokter kedua, penyakitnya diambang kesembuhan. Jadi, sama sekali tidak ada hubungan dengan antibiotika yang diberikan.
* Desakan pasien (patient pressure). Tidak sedikit pasien yang meminta antibiotika atau menuntut obat cespleng. Di lain pihak, tidak sedikit pasien yang bersikap pasif, tidak bertanya atau mencari informasi perihal pengobatan yang diberikan.
* Desakan perusahaan (company pressure).
Peran Apoteker
Seorang apoteker di Kanada menceritakan tugasnya di sana, yang antara lain meliputi:
1. Pengecekan apakah resep dari dokter tidak salah untuk penyakit tertentu dan apakah dosisnya sudah tepat. Kalau resepnya salah, apoteker harus menghubungi dokter, sehingga kalau ada kesalahan, masih bisa diperbaiki.
2. Pengecekan kemungkinan interaksi obat. Setiap pasien mempunyai arsip di komputer apotek berisi obat-obat yang pernah dipakainya. Jadi kalau obat/resep baru bisa menyebabkan interaksi obat, apoteker harus memberitahukan dokter yang bersangkutan untuk mengganti obat, bila perlu.
3. Mengawasi apakah pasien adalah pengguna obat yang berlebihan atau drug’s/narcotic’s abuser. Walaupun pasien pindah ke apotek lain, kalau membeli obat jenis narkotika, riwayat pemakaian obat narkotika dapat diketahui sebab pemakaian obat narkotika disimpan di komputer sentral yang
bisa di akses setiap apotek.
4. Konseling. Memberikan konsultasi kepada pelanggan adalah tugas yang sangat penting bagi apoteker.
5. Dari segi ekonomi, apoteker dianjurkan mengganti obat bermerek yang dianjurkan dokter dengan obat generik.

Peran Pasien
Era informasi ini telah menggulirkan pergeseran di berbagai aspek kehidupan termasuk aspek kesehatan khususnya di sisi pengetahuan dan kesadaran kesehatan. Khalayak umum dengan mudah memperoleh akses ke pengetahuan kesehatan. Kemudahan ini seperti mengisi kehausan ilmu kaum muda Indonesia
yang sudah semakin menyadari haknya dan sudah mulai memposisikan dirinya sebagai konsumen.
Hal ini tercermin dari semakin meningkatnya upaya masyarakat dalam membekali diri dengan pengetahuan kesehatan. Mereka juga mencermati iklim layanan kesehatan baik di luar Indonesia dimana konsumen terbukti berhasil membantu mewujudkan iklim layanan kesehatan yang lebih baik dan rasional.
Mereka juga gencar mencari dan berbagi informasi perihal siapa-siapa saja dokter yang rasional. Mereka bisa saja mengunjungi dokter dengan membawa artikel dan pedoman yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti internet, atau sudah memahami tatalaksana pemberian obat yang tepat (evidence-based medicine/EBM) dan pedoman (guidelines) yang ada.
Lalu bagaimana dokter menyikapi fenomena dan kondisi seperti ini?
Penerapan pedoman dalam praktek sehari-hari, cepat atau lambat, akan membantu mengangkat citra profesionalisme dokter sebagai tenaga medis.
Peran Media Massa
Media massa memainkan peranan sangat besar sebagai sarana sosialisasi pengetahuan dan kebijakan baru bagi masyarakat. Sayangnya, banyak media massa yang tanpa disadari telah dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyesatkan masyarakat dengan informasi yang tidak
seimbang dan tidak tepat.
Peran Institusi Pendidikan Kedokteran dan Farmasi
Dokter, perawat, dan farmasis merupakan sumber bagi orang awam ketika membutuhkan informasi tentang obat. Sebagai konsekuensi, profesi ini dituntut untuk selalu memperbaharui ilmu yang mereka miliki dengan menghadiri berbagai konferensi, pelatihan, dan seminar tentang kedokteran termasuk penggunaan obat yang rasional. Kurangnya pengetahuan mengenai penggunaan obat yang rasional dapat mencerminkan kualitas pelayanan. Diperlukan program tentang penggunaan obat yang rasional yang meliputi pelatihan dalam praktek peresepan dan dispensing yang tepat dan sistem yang mengatur pengawasan (monitoring) secara berkala terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mempromosikan penggunaan obat yang rasional.
Institusi kedokteran dan farmasi juga berperan dalam menyelenggarakan berbagai pendidikan berkelanjutan untuk tetap mempertahankan kompetensi yang dimiliki para dokter dan farmasis.

Jelas sekali terlihat bahwa masalah penggunaan obat yang rasional bukan hanya tanggung jawab satu atau dua pihak saja (lihat diagram di bawah ini). Diperlukan kerja sama yang saling mendukung antar berbagai pihak.
Akhirnya, mari bergandengan tangan memperbaiki pola layanan kesehatan di Indonesia dengan menjunjung tinggi dua warisan filosofis. Pertama, warisan dari jaman Roma ketika Hippocrates mengingatkan para dokter untuk senantiasa mendahulukan kepentingan pasien. Kedua, warisan dari jaman Yunani ketika Galen meminta dokter untuk senantiasa menjunjung tinggi “Primum non no
cere” atau Above all do not harm (harm di sini maknanya sangat filosofis).
Semoga profesi dokter bukan hanya mampu bertahan melainkan semakin berjaya dan profesional atas dasar etika tinggi, kompetensi dan transparansi. Semoga semua pihak dapat bergandengan tangan memberikan yang terbaik bagi masyarakat Indonesia umumnya, dan buat anak-anak Indonesia khususnya. Semua anak, termasuk anak Indonesia, berhak memperoleh layanan kesehatan yang terbaik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS