Obat yang tidak rasional masih marak di Indonesia, dan masalah ini
menjadi tanggung jawab banyak pihak, dari pembuat kebijakan, asosiasi
profesi tenaga kesehatan, industri farmasi, dokter, apoteker, hingga
media massa dan pasien. Kerja sama dan dukungan semua pihak mutlak
diperlukan untuk memperbaiki kualitas pola pengobatan menjadi rasional
sebagaimana dianjurkan Badan Kesehatan Dunia WHO.
Menurut WHO, pengobatan yang rasional adalah pemberian obat yang
sesuai kebutuhan pasien, dalam dosis yang sesuai dan periode waktu
tertentu, serta dengan biaya serendah mungkin baik bagi pasien maupun
komunitasnya. Pola pengobatan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah di atas
adalah pola pengobatan tidak rasional.
Topik yang dibahas meliputi praktik peresepan yang baik, konsep
pengobatan rasional, puyer dari perspektif farmasi, serta praktik
pengobatan di negara lain. Pemaparan para ahli ini dilengkapi testimoni
pekerja dan konsumen kesehatan mengenai pengalaman pengobatan dalam
praktik sehari-hari.
Contoh pola pengobatan tidak rasional adalah pemberian beberapa obat
sekaligus pada saat bersamaan dalam kondisi yang tidak perlu
(polifarmasi), pemberian antibiotika yang berlebihan, serta tingginya
tingkat pemakaian obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Salah satu
contoh polifarmasi adalah pemberian puyer atau racikan (compounding)
yang berisi beberapa obat sekaligus untuk anak-anak dengan gangguan
kesehatan ringan harian seperti demam, batuk-pilek atau diare.
Polifarmasi beresiko memicu interaksi obat. Suatu analisis terhadap
sejumlah resep untuk pasien anak-anak yang masuk di suatu apotek di
Jakarta Selatan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa 53% diantaranya
merupakan pemberian obat secara polifarmasi (lebih dari 4 obat) dan 12%
diantaranya memicu timbulnya interaksi obat yang tidak diinginkan
(sumber: Media Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan).
Di beberapa negara berkembang, persentase peresepan antibiotika yang
sebenarnya tidak perlu diberikan berkisar antara 52% sampai 62%. Data
yang terekam dari Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan YOP
mencatat sedikitnya 47% antibiotika yang diberikan sebenarnya tidak
diperlukan. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat ini akan menimbulkan
masalah baru, yaitu resistensi kuman.
Menurut Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudi, Sp.FK dari Farmakologi FK-UI,
pemberian resep racikan (puyer) di luar negeri saat ini hanya tinggal
1%. Sementara di Indonesia, resep puyer untuk anak masih sering sekali
dijumpai.
Dalam satu hari, apotek di salah satu rumah sakit swasta di Tangerang bisa membuat rata-rata 130 resep puyer.
“Peresepan obat racikan membawa risiko dan berbagai dampak negatif
bagi pasien dan petugas farmasi. Kontrol kualitas sangat sulit
dilaksanakan dalam pembuatan puyer karena tingginya kemungkinan
kesalahan manusia. Selain itu, stabilitas obat tertentu dapat menurun
bila bentuk aslinya digerus,
sedangkan toksisitas obat dapat meningkat,” jelas Rianto lebih lanjut.
Profesi kedokteran ditantang untuk mau dan mampu melakukan audit
profesi dan audit kerasionalan dalam memberikan resep sehingga dampak
negatifnya dapat dihindari, seperti meningkatnya biaya pengobatan yang
tidak efisien serta terjadinya efek obat yang tidak diharapkan.
Kurangnya informasi terhadap bukti ilmiah baru tentang obat dan
farmakoterapi tampaknya dihadapi kalangan profesional kesehatan di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ironisnya, kelemahan ini
dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai peluang. Dengan gencar, para
dokter dibanjiri
informasi mengenai produk obat mereka. Sayang, informasi ini umumnya
tidak seimbang, cenderung dilebih-lebihkan, dan berpihak pada
kepentingan komersial.
Pengertian Puyer
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan puyer?
Puyer atau pulvis adalah salah satu bentuk sediaan obat yang biasanya
didapat dengan menghaluskan atau menghancurkan sediaan obat tablet atau
kaplet yang biasanya terdiri atas sedikitnya dua macam obat.
Alasan dibuatnya puyer adalah:
- pasien tidak bisa menelan tablet/pil/kapsul. biasanya pada pasien anak/balita
- tidak ada dosis yang sesuai pada sediaan yang ada. misalnya butuh paracetamol 100mg, sementara sediaan yang ada di pasaran 250mg dan 500mg.
- polifarmasi : jika pasien anak-anak mendapat obat lebih dari 1 macam
- tidak ada sediaan bentuk lain yang sesuai. misalnya bentuk syrup nya tida ada
- ekonomis. puyer relatif lebih murah daripada syrup.
Dalam pengobatan modern barat, pada awalnya puyer merupakan salah
satu bentuk sediaan yang luas digunakan di seluruh dunia, terutama untuk
penggunaan obat racikan/campuran. Namun, dengan kemajuan teknologi,
lambat laun sediaan puyer semakin jarang digunakan di seluruh dunia.
Selain karena kemajuan teknologi yang menghasilkan berbagai bentuk
sediaan obat baru yang lebih aman, mudah digunakan, dan nyaman bagi
pasien, sediaan obat puyer dianggap bersifat kurang stabil. Dengan
demikian, lebih mudah rusak, takaran kurang akurat, dan penggunaannya
juga menimbulkan rasa kurang nyaman (pahit). FDA (Food and Drug
Administration) sendiri sudah tidak merekomendasikan penggunaan puyer
lengkapnya baca di
(http://www.fda.gov/consumer/updates/compounding053107.html)
Penggunaan sediaan obat puyer dan sejenisnya di Indonesia sudah
berlangsung lama sejak dahulu kala, jauh sebelum pengobatan modern hadir
di sini. Jamu sebagai ramuan obat asli Indonesia sejak ratusan tahun
lalu salah satu bentuk sediaannya adalah mirip puyer.
Sediaan obat puyer juga memiliki ”turunan”, yaitu sediaan obat kapsul
dan obat sirup yang diracik/dikemas sendiri oleh dokter/apoteker dengan
memasukkan puyer ke dalam cangkang kapsul atau mencampurkannya dengan
sirup dan air. Biasanya bentuk yg dimasukkan kapsul lebih banyak
digunakan pada anak yg besar juga digunakan pada pasien-pasien dewasa.
Sebenarnya puyer ini hanya ada di negara berkembang bahkan ada yg bilang
hanya ada di Indonesia
Mengingat polemik ini berkembang semakin meluas sehingga meresahkan
masyarakat yang terhitung sebagai konsumen, maka sudah seharusnya hal
ini menggugah perhatian pihak-pihak yang berwenang.
Pemerintah, tenaga medis, media massa, serta masyarakat sebagai konsumen..
Yang sebenarnya penting untuk ditekankan dalam pemberian obat adalah
apakah pemberian obat itu RASIONAL? Baik dari segi pemilihan jenis obat,
dosis obat, sediaan (bentuk) obat, adanya interaksi obat dll
Pemerintah sudah saatnya membuat kebijakan atau
pengaturan mengenai obat, terutama dalam hal ini bentuk obat. Dalam hal
ini termasuk mempertimbangkan, apakah pemerintah sudah SIAP untuk
menyediakan obat dalam bentuk lain, selain puyer, misalnya sirup yang
beragam dengan harga terjangkau yang disertai alat ukur di seluruh
pelayan kesehatan masyarakat?
Bila memang belum siap, maka hal yang bisa dilakukan pemerintah saat
ini adalah mempertegas lagi dan memantau standar minimal prosedur,
tempat, dan peralatan pembuatan sediaan puyer/turunannya di apotek atau
praktik dokter sehingga kebersihan dan ketepatan takarannya memenuhi
standar. Selain itu, pemerintah juga perlu mengatur ketetapan kewajiban
pemberian label pada kemasan sediaan obat puyer/turunannya yang
mencantumkan isi dan takaran obat yang terkandung, tanggal kedaluwarsa,
cara penyimpanan, beserta nama dan alamat peraciknya.
Tenaga medis, khususnya dokter.
Dokter harus memahami benar jenis-jenis obat yang akan digunakan.
Apakah obat dapat diberikan dalam bentuk puyer, apakah akan muncul
interaksi obat antara yang satu dengan yang lainnya harus benar-benar
dikuasai oleh dokter. Lebih baik lagi bila ikatan profesi dokter bisa
menyusun suatu daftar mengenai obat-obat mana saja yang bisa dijadikan
puyer, serta memberikan standar-standar minimal yang harus dipenuhi
sebelum meresepkan atau meracik puyer.
Tenaga medis lain, misalnya apoteker.
Apoteker juga wajib mengetahui standar-standar minimal peracikan puyer, termasuk prosedur, tempat, dan peralatan yang digunakan.
Media massa sebagai sarana informasi masyarakat,
harus dapat berperan secara bertanggung jawab untuk memberikan
pengetahuan dan pemahaman yang benar dan jelas kepada masyarakat supaya
tidak menimbulkan keresahan yang semakin bertambah bagi masyarakat.
Masyarakat sebagai konsumen harus dapat bersikap
lebih bijaksana, bertindak sebagai pasien yang bijak. Mematuhi seluruh
aturan terapi dengan benar.
Di sisi lain, sebenarnya apa yang mendasari kontroversi ini muncul??
Seperti dikatakan ibu menteri kesehatan, standar operasional mana
yang dikatakan tidak memperhatikan higienitas? Bukankah selama ini tidak
pernah terdengar keluhan bahwa ada bayi atau anak mencret setelah
mengkonsumsi puyer?
Tidak adanya komunikasi yang baik antara dokter dan pasien itulah
yang justru meresahkan sehingga menyebabkan tidak adanya lagi
kepercayaan pasien terhadap dokter. Dokter tidak menceritakan dengan
jelas mengenai penyakit serta rencana pengobatan terhadap pasien dan
keluarganya, pasien juga takut, malu atau malas bertanya. Hal inilah
yang akan banyak menimbulkan kegagalan dalam pengobatan terhadap pasien.
Oleh karena itu, sambil menunggu adanya kebijakan lebih lanjut
mengenai kontroversi ini, alangkah baiknya kita memperbaiki hubungan
antara dokter dan pasien menjadi lebih baik
peresepan obat puyer membawa risiko untuk pasien dan berbagai dampak
negatif lainnya. Di negara maju, praktik ini sudah sangat berkurang
karena:
1. Kemungkinan kesalahan manusia dalam pembuatan obat racik puyer ini
tidak dapat diabaikan, misalnya kesalahan menimbang obat, atau membagi
puyer dalam porsi2 yang tidak sama besar. Kontrol kualitas sulit sekali
dapat dilaksanakan untuk membuat obat racikan ini.
2. Stabilitas obat tertentu yang dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, misalnya bentuk tablet salut selaput (film coated), tablet salut selaput (enteric coated), atau obat yang tidak stabil (misalnya asam klavulanat) dan obat yang higroskopis (misalnya preparat yang mengandung enzim pencernaan)
3. Toksisitas obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat bila digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya.
4. Waktu penyediaan obat lebih lama. Rata-rata diperlukan 10 menit untuk membuat satu resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan kapsul, sedangkan untuk mengambil obat yang sudah jadi hanya perlu kurang dari 1 menit. Kelambatan ini berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien terhadap
layanan di apotek.
5. Efektivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender/mortir dan kertas pembungkus. Hal ini terutama terjadi pada obat-obat yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, misalnya puyer yang mengandung klopromazin.
6. Pembuatan obat puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang kronis di bagian farmasi akibat bubuk obat yang beterbangan ke sekitarnya. Hal ini dapat merusak kesehatan petugas setempat.
7. Obat racikan puyer tidak dapat dibuat dengan tingkat higienis yang tinggi sebagaimana halnya obat yang dibuat pabrik karena kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu pembuatannya.
8. Pembuatan obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal karena menggunakan jam kerja tenaga di bagian farmasi sehingga asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum tentu tercapai.
9. Dokter yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat sulit dibuat puyer (difficult-to compound drugs) misalnya preparat enzim.
10. Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.
2. Stabilitas obat tertentu yang dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, misalnya bentuk tablet salut selaput (film coated), tablet salut selaput (enteric coated), atau obat yang tidak stabil (misalnya asam klavulanat) dan obat yang higroskopis (misalnya preparat yang mengandung enzim pencernaan)
3. Toksisitas obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat bila digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya.
4. Waktu penyediaan obat lebih lama. Rata-rata diperlukan 10 menit untuk membuat satu resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan kapsul, sedangkan untuk mengambil obat yang sudah jadi hanya perlu kurang dari 1 menit. Kelambatan ini berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien terhadap
layanan di apotek.
5. Efektivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender/mortir dan kertas pembungkus. Hal ini terutama terjadi pada obat-obat yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, misalnya puyer yang mengandung klopromazin.
6. Pembuatan obat puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang kronis di bagian farmasi akibat bubuk obat yang beterbangan ke sekitarnya. Hal ini dapat merusak kesehatan petugas setempat.
7. Obat racikan puyer tidak dapat dibuat dengan tingkat higienis yang tinggi sebagaimana halnya obat yang dibuat pabrik karena kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu pembuatannya.
8. Pembuatan obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal karena menggunakan jam kerja tenaga di bagian farmasi sehingga asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum tentu tercapai.
9. Dokter yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat sulit dibuat puyer (difficult-to compound drugs) misalnya preparat enzim.
10. Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien.
Untuk rumah sakit yang ingin mencapai standar internasional,
khususnya dalam melindungi keselamatan pasien, maka penulisan resep dan
pembuatan obat racikan ini perlu dihapus. Kelak diharapkan semua
kebutuhan obat untuk anak dapat dipenuhi berdasarkan obat formulasi
pabrik.
Peran Organisasi Profesi Kedokteran dan Kebijakan Pemerintah
Ada 3 agenda tindakan untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional.
Pertama, pendekatan edukasi: konsep obat esensial dan aplikasinya serta
pendidikan preskripsi yang rasional kepada mahasiswa kedokteran. Selain
itu rumah sakit pendidikan punya tanggung jawab etis terhadap masyarakat
untuk mempromosikan peresepan yang rasional melalui contoh konkret dari
para
staf pengajarnya. Sayangnya, justru rumah sakit pendidikan di Indonesia adalah tempat mengajarkan peresepan yang tidak rasional.
Agenda kedua adalah skim manajerial: melalui siklus pengadaan obat.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang diimplementasikan secara
konsisten dan diikuti dengan baik oleh setiap tingkat pelayanan
kesehatan sangat penting artinya. Estimasi pengadaan obat harus
didasarkan pada morbiditas (angka kesakitan), bukan atas dasar
penggunaan sebelumnya.
Agenda ketiga, intervensi regulasi.
Peran Dokter dan Industri Farmasi.
Suatu penelitian skala besar di beberapa negara maju menunjukkan
sedikitnya tiga alasan mengapa para dokter cenderung abusive dalam pola
peresepannya:
* Kurangnya kepercayaan diri (lack of confidence). Dokter sering kurang
percaya diri untuk menyatakan bahwa penyakit pasien disebabkan infeksi
virus dan tidak memerlukan antibiotika. Dokter juga khawatir pasien akan
pindah ke dokter lain yang justru akan memberikan antibiotika. Saat
pasien sembuh ia
akan menganggap antibiotikanya lah yang menyembuhkan. Padahal, setiap
penyakit memiliki pola perjalanan penyakit. Saat berobat ke dokter
kedua, penyakitnya diambang kesembuhan. Jadi, sama sekali tidak ada
hubungan dengan antibiotika yang diberikan.
* Desakan pasien (patient pressure). Tidak sedikit pasien yang meminta
antibiotika atau menuntut obat cespleng. Di lain pihak, tidak sedikit
pasien yang bersikap pasif, tidak bertanya atau mencari informasi
perihal pengobatan yang diberikan.
* Desakan perusahaan (company pressure).
Peran Apoteker
Seorang apoteker di Kanada menceritakan tugasnya di sana, yang antara lain meliputi:
1. Pengecekan apakah resep dari dokter tidak salah untuk penyakit
tertentu dan apakah dosisnya sudah tepat. Kalau resepnya salah, apoteker
harus menghubungi dokter, sehingga kalau ada kesalahan, masih bisa
diperbaiki.
2. Pengecekan kemungkinan interaksi obat. Setiap pasien mempunyai arsip
di komputer apotek berisi obat-obat yang pernah dipakainya. Jadi kalau
obat/resep baru bisa menyebabkan interaksi obat, apoteker harus
memberitahukan dokter yang bersangkutan untuk mengganti obat, bila
perlu.
3. Mengawasi apakah pasien adalah pengguna obat yang berlebihan atau
drug’s/narcotic’s abuser. Walaupun pasien pindah ke apotek lain, kalau
membeli obat jenis narkotika, riwayat pemakaian obat narkotika dapat
diketahui sebab pemakaian obat narkotika disimpan di komputer sentral
yang
bisa di akses setiap apotek.
4. Konseling. Memberikan konsultasi kepada pelanggan adalah tugas yang sangat penting bagi apoteker.
5. Dari segi ekonomi, apoteker dianjurkan mengganti obat bermerek yang dianjurkan dokter dengan obat generik.
Peran Pasien
Era informasi ini telah menggulirkan pergeseran di berbagai aspek
kehidupan termasuk aspek kesehatan khususnya di sisi pengetahuan dan
kesadaran kesehatan. Khalayak umum dengan mudah memperoleh akses ke
pengetahuan kesehatan. Kemudahan ini seperti mengisi kehausan ilmu kaum
muda Indonesia
yang sudah semakin menyadari haknya dan sudah mulai memposisikan dirinya sebagai konsumen.
yang sudah semakin menyadari haknya dan sudah mulai memposisikan dirinya sebagai konsumen.
Hal ini tercermin dari semakin meningkatnya upaya masyarakat dalam
membekali diri dengan pengetahuan kesehatan. Mereka juga mencermati
iklim layanan kesehatan baik di luar Indonesia dimana konsumen terbukti
berhasil membantu mewujudkan iklim layanan kesehatan yang lebih baik dan
rasional.
Mereka juga gencar mencari dan berbagi informasi perihal siapa-siapa saja dokter yang rasional. Mereka bisa saja mengunjungi dokter dengan membawa artikel dan pedoman yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti internet, atau sudah memahami tatalaksana pemberian obat yang tepat (evidence-based medicine/EBM) dan pedoman (guidelines) yang ada.
Mereka juga gencar mencari dan berbagi informasi perihal siapa-siapa saja dokter yang rasional. Mereka bisa saja mengunjungi dokter dengan membawa artikel dan pedoman yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti internet, atau sudah memahami tatalaksana pemberian obat yang tepat (evidence-based medicine/EBM) dan pedoman (guidelines) yang ada.
Lalu bagaimana dokter menyikapi fenomena dan kondisi seperti ini?
Penerapan pedoman dalam praktek sehari-hari, cepat atau lambat, akan membantu mengangkat citra profesionalisme dokter sebagai tenaga medis.
Penerapan pedoman dalam praktek sehari-hari, cepat atau lambat, akan membantu mengangkat citra profesionalisme dokter sebagai tenaga medis.
Peran Media Massa
Media massa memainkan peranan sangat besar sebagai sarana sosialisasi
pengetahuan dan kebijakan baru bagi masyarakat. Sayangnya, banyak media
massa yang tanpa disadari telah dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab untuk menyesatkan masyarakat dengan informasi yang
tidak
seimbang dan tidak tepat.
Peran Institusi Pendidikan Kedokteran dan Farmasi
Dokter, perawat, dan farmasis merupakan sumber bagi orang awam ketika
membutuhkan informasi tentang obat. Sebagai konsekuensi, profesi ini
dituntut untuk selalu memperbaharui ilmu yang mereka miliki dengan
menghadiri berbagai konferensi, pelatihan, dan seminar tentang
kedokteran termasuk penggunaan obat yang rasional. Kurangnya pengetahuan
mengenai penggunaan obat yang rasional dapat mencerminkan kualitas
pelayanan. Diperlukan program tentang penggunaan obat yang rasional yang
meliputi pelatihan dalam praktek peresepan dan dispensing yang tepat
dan sistem yang mengatur pengawasan (monitoring) secara berkala terhadap
tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mempromosikan penggunaan obat
yang rasional.
Institusi kedokteran dan farmasi juga berperan dalam menyelenggarakan
berbagai pendidikan berkelanjutan untuk tetap mempertahankan kompetensi
yang dimiliki para dokter dan farmasis.
Jelas sekali terlihat bahwa masalah penggunaan obat yang rasional
bukan hanya tanggung jawab satu atau dua pihak saja (lihat diagram di
bawah ini). Diperlukan kerja sama yang saling mendukung antar berbagai
pihak.
Akhirnya, mari bergandengan tangan memperbaiki pola layanan kesehatan
di Indonesia dengan menjunjung tinggi dua warisan filosofis. Pertama,
warisan dari jaman Roma ketika Hippocrates mengingatkan para dokter
untuk senantiasa mendahulukan kepentingan pasien. Kedua, warisan dari
jaman Yunani ketika Galen meminta dokter untuk senantiasa menjunjung
tinggi “Primum non no
cere” atau Above all do not harm (harm di sini maknanya sangat filosofis).
cere” atau Above all do not harm (harm di sini maknanya sangat filosofis).
Semoga profesi dokter bukan hanya mampu bertahan melainkan semakin
berjaya dan profesional atas dasar etika tinggi, kompetensi dan
transparansi. Semoga semua pihak dapat bergandengan tangan memberikan
yang terbaik bagi masyarakat Indonesia umumnya, dan buat anak-anak
Indonesia khususnya. Semua anak, termasuk anak Indonesia, berhak
memperoleh layanan kesehatan yang terbaik.






